Minggu, 24 November 2013

Penelitian Kuantitatif


PENGARUH RELIGIUSITAS TERHADAP KEBAHAGIAAN




 Di Susun Oleh:
Siti Husnul Khotimah (11140043)

ISLAMIC BANKING SCHOOL
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM
YOGYAKARTA
2013



    A. Latar Belakang Masalah
Manusia selain sebagai makhluk beragama yang membutuhkan agama untuk membentengi dirinya dari perbuatan-perbuatan negatif juga sebagai mahluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk berkumpul, bergaul dan berinteraksi serta membutuhkan orang lain dalam hidupnya pemenuhan kebutuhan akan agama dan hubungan sosial yang positif akan mengakibatkan kepuasan psikologis yaitu kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah tujuan dan dambaan setiap manusia, untuk mencapainya tidak mudah. Salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan hubungan horizontal yang baik dengan seama (hablum minannas) serta hubungan vertikal yang baik dengan tuhan (hablum minnallah). Tapi di satu sisi hubungan sosialnya dengan sesama baik tapi belum tentu hubungan dengan tuhan baik pula.
Adanya semangat hidup dan sikap menerima segala kekurangan dalam hidup dan di dalam dirinya untuk menjalani kehidupan untuk membuat seorang menjadi merasa bahagia, salah satu faktor kebahagiaan adalah religius. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai bentuk kesenangan dan ketentraman hidup (lahir batin), keberuntungan, dan kemujuran yang bersifat lahir batin.
Sedangkan  religiusitas adalah kualitas motifasi individu untuk menjadi religius dan konsekuensi-konsekuensi religiusitas dalam aspek-aspek kehidupannya. Kata religius dalam hal ini adalah suatu sistem kepercayaan yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan yang terbentuk dari relasi antara manusia dan kekuatan supra empiris yaitu Tuhan Yang Maha Esa, yang berarti keyakinan terhadap adanya tuhan yang diwujudkan dengan mematuhi perintah dan menjauhi larangan dengan keiklasan hati dan dengan seluruh jiwa dan raga.

B.     Identifikasi Masalah
Berikut adalah faktor – faktor yang mempengaruhi kebahagiaan seseorang, (Seligman (2005), yaitu:
1.      Kehidupan Sosial
Orang yang sangat bahagia menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit menghabiskan waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi.
2.      Agama atau Religiusitas
Orang yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan  daripada orang yang tidak religious. Hal ini dikarenakan agama memberikan harapan akan masa depan dan menciptakan makna dalam hidup bagi manusia. Selain itu, keterlibatan seseorang dalam kegiatan keagamaan atau komunitas agama dapat memberikan dukungan sosial bagi orang tersebut (Carr, 2004). Hubungan antara harapan akan masa depan dan keyakinan beragama merupakan landasan mengapa keimanan sangat efektif melawan keputusasaan dan meningkatkan kebahagiaan (Seligman, 2005).
3.      Pernikahan
Seligman (2005) mengatakan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan kebahagiaan dan pernikahan yaitu, orang yang bahagia lebih atraktif sebagai pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan memberikan banyak keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan peran sebagai pasangan dan orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan (Carr, 2004). Kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi panjang usia dan besar penghasilan dan hal ini berlaku bagi pria dan wanita (Seligman, 2005).
4.      Uang
Seligman menjelaskan bahwa di Negara yang sangat miskin, kaya bisa berarti lebih bahagia. Namun di Negara yang lebih makmur dimana hampir semua orang memperoleh kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada kebahagiaan.

C.    Batasan Masalah
Dari identifikasi yang telah dipaparkan di atas telah terungkap beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan. Mengingat masalah yang ada pada identifikasi masalah dan agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlalu luas dan lebih fokus, maka penyusun berkonsentrasi pengaruh religiusitas terhadap kebahagiaan.

D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh religiusitas terhadap kebahagiaan?

E.   Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh religiusitas terhadap kebahagiaan.

F.     Kontribusi hasil penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
1.    Penyusun
Penyusun mendapatkan tambahan pengetahuan tentang pengaruh religiusitas terhadap kebahagiaan.
2.             Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat menjadi laporan empiris dan media sosialisasi bagi masyarakat yang reigiusitas terhadap kebahagiaan.

G.    Kajian Pustaka
1.      Religiusitas
a.       Definisi religiusitas
Harun nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din berarti undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, dan kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (latin) atau relegere berarti mengumpulkan atau membaca. Kemudian religare  berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari a= tidak ; gam = pergi, mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun.
Kausar suhail at all. (2004) menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan manusia sehari-hari.
Dariyo, Agus, (2004) agama sangat mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta giat berusaha untuk memperbaiki diri agar menjadi lebih baik. Berdasarkan pada istilah agama dan religi muncul istilah religiusitas. Dalam psikologi konsep ini sering disebut sebagai religiusitas. Hal ini perlu dibedakan dari agama, karena konotasi agama biasanya mengacu pada kelembagaan yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis, aturan dan hukuman sedangkan religiusitas lebih pada aspek ‘lubuk hati’ dan personalisasi dari kelembagaan tersebut (Shadily, 1989).
 Mangunwijaya (1982) juga membedakan istilah religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk aspek formal yang berkaitan dengan     aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban sedangkan religiusitas mengacu pada aspek religi yang dihayati oleh individu di dalam hati. 
Pengertian religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukan oleh Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan, seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang dianut seseorang.
Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan suatu keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang mengarahkan perilaku seseorang sesuai dengan ajaran yang dianutnya.

b.      Dimensi-dimensi religiusitas
Menurut Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi religiusitas (keagamaan) yaitu :
a.       Dimensi keyakinan / ideologik
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin tersebut. Misalnya  keyakinan akan adanya malaikat, surga dan neraka.
b.      Dimensi praktik agama / peribadatan
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus formal keagamaan, ketaan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri atas dua kelas penting, yaitu :
1)      Ritual, mengacu kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya.
2)      Ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.
c.       Dimensi pengalaman
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (atau masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir, dengan otoritas transedental.

d.      Dimensi Pengetahuan Agama
Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
e.       Dimensi Konsekuensi
ssDimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan  keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dengan kata lain, sejauh mana implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya.

2.      Kebahagiaan
a.       Definisi Kebahagiaan
Aristoteles (dalam Adler, 2003) menyatakan bahwa happiness atau kebahagiaan berasal dari kata “happy” atau bahagia yang berarti  feeling good, having fun, having a good time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan. Sedangkan orang yang bahagia menurut Aristoteles (dalam Rusydi, 2007) adalah orang yang mempunyai good birth, good health, good look, good luck, good reputation, good friends, good money and goodness. 
Kebahagiaan merupakan sebongkahan perasaan yang dapat dirasakan berupa perasaan senang, tentram, dan memiliki kedamaian (Rusydi, 2007).
Sedangkan happiness atau kebahagiaan menurut Biswas, Diener & Dean (2007) merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia – apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan yang lebih baik, kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah perasaan positif yang berasal dari kualitas keseluruhan hidup manusia yang ditandai dengan  adanya kesenangan yang dirasakan oleh seorang individu ketika melakukan sesuatu hal yang disenangi di dalam hidupnya dengan tidak adanya perasaan menderita.  

b.      Aspek-Aspek Kebahagiaan
Andrew dan McKennel (dalam Carr, 2004) membagi aspek kebahagiaan menjadi dua hal, yaitu:
1)      Aspek afektif yaitu menggambarkan pengalaman emosi dari kesenangan,       kegembiraan, dan emosi positif lain.
2)      Aspek kognitif yaitu kepuasan dengan variasi domain kehidupan. Aspek di atas didukung oleh Suh dkk, 1997 (dalam carr, 2004) yang menyatakan bahwa kegembiraan merupakan aspek afektif dan kepuasan merupakan aspek kognitif. Kemudian Suh menambahkan bahwa aspek afektif tersebut terbagi menjadi dua komponen yang saling bebas yaitu afek positif dan afek negatif.
Selanjutnya evaluasi kognitif yang saling tergantung pada kepuasan dalam variasi domain seperti keluarga atau aturan kerja dan pengalaman-pengalaman kepuasan lainnya.         


c.       Karakteristik Orang yang Bahagia
Setiap orang bisa sampai kepada kebahagiaan akan tetapi tidak semua orang bisa memiliki kebahagiaan. Menurut David G. Myers, seorang psikolog yang mengadakan penelitian tentang solusi mencari kebahagiaan bagi manusia modern, ada empat karakteristik yang selalu ada pada orang yang memiliki kebahagiaan dalam hidupnya, yaitu :
1)      Menghargai diri sendiri
Orang yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri. Mereka cenderung setuju dengan pernyataan seperti “Saya adalah orang yang menyenangkan”. Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti diatas.
2)      Optimis
Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk optimis atau pesimis, yaitu dimensi permanen (menentukan berapa lama seseorang menyerah) dan dimensi pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak situasi). Orang yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga mereka berusaha untuk lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat mengalami peristiwa baik lagi (Seligman, 2005). Sedangkan orang yang pesimis menyerah di segala aspek ketika mengalami peristiwa buruk di area tertentu.
3)      Terbuka
Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang lain serta membantu oranglain yang membutuhkan bantuannya. Penelitian menunjukkan bahwa orang – orang yang tergolong sebagai orang extrovert dan mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki kebahagiaan yang lebih besar.
4)      Mampu mengendalikan diri
Orang yang bahagia pada umumnya merasa memiliki kontrol pada hidupnya. Mereka merasa memiliki kekuatan atau kelebihan sehingga biasanya mereka berhasil lebih baik di sekolah atau pekerjaan. Sehingga kunci utama untuk dapat mewujudkan kebahagiaan adalah merasa bahagia yang ditandai dengan keempat karakteristik diatas. 







DAFTAR PUSTAKA
Biswas, Diener & Dean. 2008. Subjective well-being: the science of happiness and life satisfaction. Handbook of positive psychology. NC: Oxford university press.
Dariyo, Agus, 2004. Psikologi Perkembangan Remaja, Bogor : Ghalia Indonesia.
Kausar suhail at all. 2004. Predictors of subjective well-being in and eastern muslim culture. Journal of social and clinical psychology: vol 23, no 3, pp 359-376

Tidak ada komentar:

Posting Komentar