PENGARUH RELIGIUSITAS
TERHADAP KEBAHAGIAAN
Di
Susun Oleh:
Siti Husnul Khotimah (11140043)
ISLAMIC BANKING SCHOOL
SEKOLAH TINGGI EKONOMI ISLAM
YOGYAKARTA
2013
A. Latar
Belakang Masalah
Manusia selain sebagai makhluk beragama yang
membutuhkan agama untuk membentengi dirinya dari perbuatan-perbuatan negatif
juga sebagai mahluk sosial yang memiliki kecenderungan untuk berkumpul, bergaul
dan berinteraksi serta membutuhkan orang lain dalam hidupnya pemenuhan
kebutuhan akan agama dan hubungan sosial yang positif akan mengakibatkan
kepuasan psikologis yaitu kebahagiaan.
Kebahagiaan adalah tujuan dan dambaan
setiap manusia, untuk mencapainya tidak mudah. Salah satu cara untuk
mencapainya adalah dengan hubungan horizontal yang baik dengan seama (hablum minannas)
serta hubungan vertikal yang baik dengan tuhan (hablum minnallah). Tapi di satu
sisi hubungan sosialnya dengan sesama baik tapi belum tentu hubungan dengan
tuhan baik pula.
Adanya semangat hidup dan sikap menerima
segala kekurangan dalam hidup dan di dalam dirinya untuk menjalani kehidupan
untuk membuat seorang menjadi merasa bahagia, salah satu faktor kebahagiaan adalah
religius. Kebahagiaan dapat diartikan sebagai bentuk kesenangan dan ketentraman
hidup (lahir batin), keberuntungan, dan kemujuran yang bersifat lahir batin.
Sedangkan religiusitas adalah kualitas motifasi individu
untuk menjadi religius dan konsekuensi-konsekuensi religiusitas dalam
aspek-aspek kehidupannya. Kata religius dalam hal ini adalah suatu sistem
kepercayaan yang menghubungkan individu dengan satu keberadaan yang terbentuk
dari relasi antara manusia dan kekuatan supra empiris yaitu Tuhan Yang Maha
Esa, yang berarti keyakinan terhadap adanya tuhan yang diwujudkan dengan
mematuhi perintah dan menjauhi larangan dengan keiklasan hati dan dengan
seluruh jiwa dan raga.
B.
Identifikasi Masalah
Berikut adalah faktor – faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan seseorang, (Seligman
(2005), yaitu:
1.
Kehidupan Sosial
Orang yang sangat
bahagia menjalani kehidupan sosial yang kaya dan memuaskan, paling sedikit
menghabiskan waktu sendirian dan mayoritas dari mereka bersosialisasi.
2. Agama
atau Religiusitas
Orang
yang religius lebih bahagia dan lebih puas terhadap kehidupan daripada
orang yang tidak religious. Hal
ini dikarenakan agama memberikan harapan akan masa depan dan menciptakan makna
dalam hidup bagi manusia. Selain
itu, keterlibatan seseorang dalam kegiatan keagamaan atau komunitas agama dapat
memberikan dukungan sosial bagi orang tersebut (Carr, 2004). Hubungan antara
harapan akan masa depan dan keyakinan beragama merupakan landasan mengapa
keimanan sangat efektif melawan keputusasaan
dan meningkatkan kebahagiaan (Seligman, 2005).
3. Pernikahan
Seligman
(2005) mengatakan bahwa pernikahan sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan.
Menurut Carr (2004), ada dua penjelasan mengenai hubungan kebahagiaan dan
pernikahan yaitu, orang yang bahagia lebih atraktif sebagai pasangan daripada
orang yang tidak bahagia. Penjelasan kedua yaitu pernikahan memberikan banyak
keuntungan yang dapat membahagiakan seseorang, diantaranya keintiman
psikologis dan fisik, memiliki anak, membangun keluarga, menjalankan peran
sebagai pasangan dan orang tua, menguatkan identitas dan menciptakan keturunan
(Carr, 2004). Kebahagiaan orang yang menikah mempengaruhi panjang usia dan
besar penghasilan dan hal ini berlaku bagi pria dan wanita (Seligman, 2005).
4. Uang
Seligman
menjelaskan bahwa di Negara yang sangat miskin, kaya bisa berarti lebih
bahagia. Namun di Negara yang lebih makmur dimana hampir semua orang memperoleh
kebutuhan dasar, peningkatan kekayaan tidak begitu berdampak pada kebahagiaan.
C.
Batasan Masalah
Dari identifikasi yang telah dipaparkan di atas telah
terungkap beberapa faktor yang
mempengaruhi kebahagiaan. Mengingat masalah yang ada
pada identifikasi masalah dan agar pembahasan dalam penelitian ini tidak
terlalu luas dan lebih fokus, maka penyusun berkonsentrasi pengaruh religiusitas terhadap kebahagiaan.
D.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh religiusitas
terhadap kebahagiaan?
E.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas, maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
pengaruh religiusitas terhadap kebahagiaan.
F.
Kontribusi hasil penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
1. Penyusun
Penyusun mendapatkan tambahan
pengetahuan tentang pengaruh
religiusitas terhadap kebahagiaan.
2.
Masyarakat
Hasil penelitian ini dapat menjadi
laporan empiris dan media sosialisasi bagi masyarakat yang reigiusitas terhadap
kebahagiaan.
G.
Kajian Pustaka
1.
Religiusitas
a. Definisi
religiusitas
Harun
nasution (dalam Jalaluddin, 2004) membedakan pengertian agama berdasarkan asal
kata, yaitu al-din, religi (relegere, religare) dan agama. Al-din berarti
undang-undang atau hukum. Kemudian dalam bahasa Arab, kata ini mengandung arti
menguasai, menundukkan, patuh, dan kebiasaan. Sedangkan dari kata religi
(latin) atau relegere berarti mengumpulkan atau membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri
dari a= tidak ; gam = pergi, mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau
diwarisi turun temurun.
Kausar suhail at all. (2004)
menyatakan bahwa agama mengandung arti ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi
manusia. Ikatan yang dimaksud berasal dari salah satu kekuatan yang lebih
tinggi daripada manusia sebagai kekuatan gaib yang tidak dapat ditangkap dengan
panca indera, namun mempunyai pengaruh yang besar sekali terhadap kehidupan
manusia sehari-hari.
Dariyo, Agus, (2004)
agama sangat mendorong pemeluknya untuk berperilaku baik dan bertanggung jawab
atas segala perbuatannya serta giat berusaha untuk memperbaiki diri agar
menjadi lebih baik. Berdasarkan pada istilah agama dan religi muncul istilah
religiusitas. Dalam psikologi konsep ini sering disebut sebagai religiusitas.
Hal ini perlu dibedakan dari agama, karena konotasi agama biasanya mengacu pada
kelembagaan yang bergerak dalam aspek-aspek yuridis, aturan dan hukuman
sedangkan religiusitas lebih pada aspek ‘lubuk hati’ dan personalisasi dari
kelembagaan tersebut (Shadily, 1989).
Mangunwijaya (1982) juga membedakan istilah
religi atau agama dengan istilah religiusitas. Agama menunjuk aspek formal yang
berkaitan dengan aturan-aturan dan
kewajiban-kewajiban sedangkan religiusitas mengacu pada aspek religi yang
dihayati oleh individu di dalam hati.
Pengertian
religiusitas berdasarkan dimensi-dimensi yang dikemukan oleh Glock dan Stark
(dalam Ancok, 2005) adalah seberapa jauh pengetahuan, seberapa kokoh keyakinan,
seberapa tekun pelaksanaan ibadah dan seberapa dalam penghayatan agama yang
dianut seseorang.
Berdasarkan
beberapa uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa religiusitas merupakan
suatu keyakinan dan penghayatan akan ajaran agama yang mengarahkan perilaku
seseorang sesuai dengan ajaran yang dianutnya.
b.
Dimensi-dimensi
religiusitas
Menurut
Glock dan Stark (dalam Ancok, 2005), ada 5 dimensi religiusitas (keagamaan)
yaitu :
a.
Dimensi keyakinan /
ideologik
Dimensi ini berisi pengharapan-pengharapan dimana orang
religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui
kebenaran doktrin tersebut. Misalnya
keyakinan akan adanya malaikat, surga dan neraka.
b.
Dimensi praktik
agama / peribadatan
Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, pelaksanaan ritus
formal keagamaan, ketaan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan
komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktik-praktik keagamaan ini terdiri
atas dua kelas penting, yaitu :
1)
Ritual, mengacu
kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktik-praktik suci
yang semua mengharapkan para pemeluk melaksanakannya.
2)
Ketaatan, apabila
aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik, semua agama yang
dikenal juga mempunyai seperangkat tindakan persembahan dan kontemplasi
personal yang relatif spontan, informal dan khas pribadi.
c.
Dimensi pengalaman
Dimensi ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan,
perasaan, persepsi dan sensasi yang dialami seseorang atau didefinisikan oleh
suatu kelompok keagamaan (atau masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun
kecil, dalam suatu esensi ketuhanan yaitu dengan Tuhan, kenyataan terakhir,
dengan otoritas transedental.
d.
Dimensi Pengetahuan
Agama
Dimensi ini mengacu pada harapan bagi orang-orang yang
beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar
keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
e.
Dimensi Konsekuensi
ssDimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman
dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dengan kata lain, sejauh mana
implikasi ajaran agama mempengaruhi perilakunya.
2.
Kebahagiaan
a.
Definisi
Kebahagiaan
Aristoteles (dalam Adler, 2003) menyatakan bahwa
happiness atau kebahagiaan berasal dari kata “happy” atau bahagia yang
berarti feeling good, having fun, having
a good time, atau sesuatu yang membuat pengalaman yang menyenangkan. Sedangkan
orang yang bahagia menurut Aristoteles (dalam Rusydi, 2007) adalah orang yang
mempunyai good birth, good health, good look, good luck, good reputation, good
friends, good money and goodness.
Kebahagiaan merupakan sebongkahan perasaan yang dapat
dirasakan berupa perasaan senang, tentram, dan memiliki kedamaian (Rusydi,
2007).
Sedangkan happiness atau kebahagiaan menurut Biswas,
Diener & Dean (2007) merupakan kualitas dari keseluruhan hidup manusia –
apa yang membuat kehidupan menjadi baik secara keseluruhan seperti kesehatan
yang lebih baik, kreativitas yang tinggi ataupun pendapatan yang lebih tinggi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan
adalah perasaan positif yang berasal dari kualitas keseluruhan hidup manusia
yang ditandai dengan adanya kesenangan
yang dirasakan oleh seorang individu ketika melakukan sesuatu hal yang
disenangi di dalam hidupnya dengan tidak adanya perasaan menderita.
b.
Aspek-Aspek
Kebahagiaan
Andrew dan McKennel (dalam Carr, 2004) membagi aspek
kebahagiaan menjadi dua hal, yaitu:
1)
Aspek afektif yaitu
menggambarkan pengalaman emosi dari kesenangan, kegembiraan,
dan emosi positif lain.
2)
Aspek kognitif
yaitu kepuasan dengan variasi domain kehidupan. Aspek di atas didukung oleh Suh
dkk, 1997 (dalam carr, 2004) yang menyatakan bahwa kegembiraan merupakan aspek
afektif dan kepuasan merupakan aspek kognitif. Kemudian Suh menambahkan bahwa
aspek afektif tersebut terbagi menjadi dua komponen yang saling bebas yaitu
afek positif dan afek negatif.
Selanjutnya
evaluasi kognitif yang saling tergantung pada kepuasan dalam variasi domain
seperti keluarga atau aturan kerja dan pengalaman-pengalaman kepuasan
lainnya.
c.
Karakteristik Orang
yang Bahagia
Setiap orang bisa sampai kepada kebahagiaan akan tetapi
tidak semua orang bisa memiliki kebahagiaan. Menurut David G. Myers, seorang
psikolog yang mengadakan penelitian tentang solusi mencari kebahagiaan bagi
manusia modern, ada empat karakteristik yang selalu ada pada orang yang
memiliki kebahagiaan dalam hidupnya, yaitu :
1)
Menghargai diri
sendiri
Orang yang bahagia cenderung menyukai dirinya sendiri.
Mereka cenderung setuju dengan pernyataan seperti “Saya adalah orang yang
menyenangkan”. Jadi, pada umumnya orang yang bahagia adalah orang yang memiliki
kepercayaan diri yang cukup tinggi untuk menyetujui pernyataan seperti diatas.
2)
Optimis
Ada dua dimensi untuk menilai apakah seseorang termasuk
optimis atau pesimis, yaitu dimensi permanen (menentukan berapa lama seseorang
menyerah) dan dimensi pervasif (menentukan apakah ketidakberdayaan melebar ke banyak
situasi). Orang yang optimis percaya bahwa peristiwa baik memiliki penyebab
permanen dan peristiwa buruk bersifat sementara sehingga mereka berusaha untuk
lebih keras pada setiap kesempatan agar ia dapat mengalami peristiwa baik lagi
(Seligman, 2005). Sedangkan orang yang pesimis menyerah di segala aspek ketika
mengalami peristiwa buruk di area tertentu.
3)
Terbuka
Orang yang bahagia biasanya lebih terbuka terhadap orang
lain serta membantu oranglain yang membutuhkan bantuannya. Penelitian
menunjukkan bahwa orang – orang yang tergolong sebagai orang extrovert dan
mudah bersosialisasi dengan orang lain ternyata memiliki kebahagiaan yang lebih
besar.
4)
Mampu mengendalikan
diri
Orang yang bahagia pada umumnya merasa memiliki kontrol
pada hidupnya. Mereka merasa memiliki kekuatan atau kelebihan sehingga biasanya
mereka berhasil lebih baik di sekolah atau pekerjaan. Sehingga kunci utama
untuk dapat mewujudkan kebahagiaan adalah merasa bahagia yang ditandai dengan
keempat karakteristik diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Biswas, Diener
& Dean. 2008. Subjective well-being:
the science of happiness and life satisfaction. Handbook of positive psychology.
NC: Oxford university press.
Dariyo, Agus, 2004. Psikologi Perkembangan Remaja, Bogor :
Ghalia Indonesia.
Kausar suhail at
all. 2004. Predictors of subjective
well-being in and eastern muslim culture. Journal of social and clinical
psychology: vol 23, no 3, pp 359-376
Tidak ada komentar:
Posting Komentar